Ad Code

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Kenapa Kita Tidak Bisa Mengingat Kenangan Saat Masih Bayi?

Pernahkah kamu membuka album foto lama dan melihat potret dirimu saat bayi? Kamu mungkin tertawa karena ekspresi polos di wajahmu, atau heran melihat betapa kecilnya dirimu dulu. Tapi, ketika mencoba mengingat apa yang terjadi di momen itu, otakmu terasa kosong. Tidak ada detail, tidak ada cerita, bahkan tidak ada potongan memori. Seakan-akan masa itu tidak pernah kamu alami sendiri. Pertanyaannya, kenapa hal itu bisa terjadi?


Fenomena ini sudah lama menjadi misteri dalam psikologi dan ilmu saraf. Para peneliti menyebutnya dengan istilah infantile amnesia, atau amnesia masa kanak-kanak. Artinya, sebagian besar orang tidak mampu mengingat pengalaman hidup sebelum usia dua hingga tiga tahun. Beberapa orang mungkin punya kilasan samar dari masa balita, tapi hampir tak ada yang bisa mengingat secara utuh kejadian saat masih bayi.

Otak manusia pada dasarnya adalah mesin penyimpan memori yang luar biasa. Ia mampu menyimpan miliaran detail, mulai dari wajah yang pernah kita lihat, aroma yang pernah kita hirup, hingga suara yang pernah kita dengar. Namun, ada masa tertentu ketika memori seperti tidak sempat diarsipkan dengan baik, sehingga hilang begitu saja. Mengapa?

Jawabannya ada pada perkembangan otak. Saat bayi lahir, otaknya belum sepenuhnya matang. Bagian yang berperan penting dalam pembentukan memori jangka panjang, yaitu hippocampus, masih dalam tahap berkembang. Tanpa hippocampus yang matang, kenangan mungkin bisa terbentuk sesaat, tetapi tidak bisa disimpan untuk jangka panjang. Itulah sebabnya bayi bisa mengenali wajah orang tuanya atau merasa nyaman dengan suara yang familiar, tetapi tidak akan mengingat detail kejadian itu saat dewasa.

Selain hippocampus, ada proses lain yang membuat memori bayi sulit bertahan, yaitu produksi neuron baru. Pada masa awal kehidupan, otak bayi berada dalam fase yang sangat sibuk membentuk jutaan sel saraf baru setiap detiknya. Proses ini memang penting untuk perkembangan kognitif, tetapi efek sampingnya adalah memori yang sudah terbentuk menjadi tidak stabil. Ibaratnya, rak buku yang penuh terus diganti dengan rak baru, sehingga catatan lama tertutupi oleh yang baru.

Namun, alasan biologis bukan satu-satunya penyebab. Faktor bahasa juga memegang peran besar. Untuk mengingat pengalaman sebagai “kisah hidup”, otak butuh sistem bahasa yang matang. Bahasa memberi struktur untuk memori, menjadikannya narasi yang bisa kita ceritakan kembali. Bayi memang bisa merasakan, menangis, tertawa, atau menunjukkan emosi lain, tapi mereka belum punya kata-kata untuk menjelaskan perasaan atau kejadian yang dialami. Tanpa bahasa, pengalaman itu tetap tersimpan, namun tidak bisa diakses kembali dalam bentuk cerita autobiografi.

Beberapa penelitian terbaru memberikan wawasan menarik. Peneliti dari Yale University, misalnya, menemukan bahwa memori bayi sebenarnya tidak hilang begitu saja. Mereka berhipotesis bahwa ingatan itu tetap ada, tetapi terkunci rapat di dalam jaringan saraf yang sudah berubah. Saat otak dewasa mencoba mengaksesnya, kuncinya tidak lagi cocok. Dengan kata lain, otak bayi dan otak dewasa berbicara dengan “bahasa” yang berbeda, sehingga sulit menemukan arsip lama.

Fenomena ini juga menjelaskan kenapa banyak orang dewasa merasa kenangan masa kecil mereka justru datang dari cerita orang tua atau foto lama. Kita sering mengira itu adalah memori pribadi, padahal sebenarnya hasil dari rekonstruksi. Otak cenderung mengisi kekosongan dengan informasi yang kita terima belakangan, sehingga tercipta kesan seolah-olah kita benar-benar mengingat kejadian tersebut.

Meski begitu, ada juga kilasan memori yang kadang muncul, terutama yang terkait dengan emosi kuat. Misalnya, rasa takut pertama kali ditinggal orang tua, atau kegembiraan saat mendapat mainan baru. Hal ini menunjukkan bahwa emosi punya peran penting dalam memperkuat memori, meski detailnya tetap kabur.

Fenomena amnesia masa bayi juga punya sisi filosofis. Ia membuat kita bertanya: sejauh mana identitas kita dibentuk oleh pengalaman yang tidak kita ingat? Bayi belajar mengenali dunia, membangun rasa aman, dan memahami interaksi sosial sejak awal hidup. Semua itu membentuk fondasi kepribadian kita sekarang, meskipun kita tidak bisa mengingatnya secara sadar.

Sains masih terus menggali rahasia ini. Beberapa ahli berpendapat bahwa jika suatu hari kita bisa menemukan cara untuk “membuka kunci” ingatan bayi, kita mungkin bisa memahami lebih banyak tentang perkembangan otak manusia. Namun, ada juga yang menganggap fenomena lupa ini justru penting. Jika kita mengingat semua detail sejak bayi, otak bisa kewalahan oleh informasi yang tidak relevan. Lupa, dalam hal ini, adalah mekanisme alami untuk menyaring dan memilih kenangan yang benar-benar penting.

Pada akhirnya, ketidakmampuan kita mengingat masa bayi adalah bagian dari misteri besar otak manusia. Ia menunjukkan betapa kompleksnya proses penyimpanan memori, betapa pentingnya bahasa, dan betapa uniknya cara otak berkembang. Jadi, meskipun kamu tidak bisa mengingat saat masih bayi, pengalaman itu tetap menjadi bagian dari dirimu. Ia tertanam di dalam otak, membentuk siapa kamu hari ini, meski tersembunyi di balik tabir amnesia.

Jadi lain kali saat kamu melihat foto masa bayi atau mendengar cerita lucu dari orang tuamu, ingatlah bahwa meskipun otakmu tak menyimpan detailnya, pengalaman itu pernah benar-benar kamu alami. Ingatanmu mungkin terkunci, tapi jejaknya ada dalam setiap langkah perjalanan hidupmu.