Ad Code

Responsive Advertisement

Ticker

6/recent/ticker-posts

Nikola Tesla: Sang Jenius yang Dikhianati Zaman

Pada suatu malam musim panas tahun 1856, petir menyambar langit desa kecil Smiljan yang saat itu masih menjadi bagian Kekaisaran Austria. Di tengah badai, seorang bayi lahir dan bidan yang membantu persalinan berkata bahwa anak ini akan menjadi anak kegelapan karena dilahirkan di bawah kilatan petir. Namun ibunya membantah dengan penuh keyakinan bahwa putranya akan menjadi anak cahaya. Bayi itu diberi nama Nikola Tesla. Sejak lahir, seolah takdirnya telah ditulis dengan simbol petir: terang sekaligus misterius, menyinari dunia lalu lenyap dalam kesepian.


Sejak kecil, Tesla memperlihatkan kecerdasan yang melampaui anak-anak seusianya. Ia memiliki kemampuan menghafal luar biasa dan daya imajinasi yang nyaris tak masuk akal. Di kepalanya, ia bisa membayangkan mesin yang berputar dengan detail teknis lengkap tanpa perlu mencatatnya di atas kertas. Anak ini hidup dalam dua dunia: dunia nyata yang penuh keterbatasan dan dunia imajinasi yang tak terbatas. Ia pernah berkata, “Saya tidak peduli bahwa mereka mencuri ide saya. Saya peduli bahwa mereka tidak punya ide mereka sendiri.” Sebuah kalimat yang kelak terasa pahit ketika banyak karyanya diklaim orang lain.

Masa pendidikannya tidak selalu berjalan mulus. Ia belajar teknik di Graz dan Praha, namun tidak pernah benar-benar menuntaskan gelarnya. Meski begitu, kecerdasannya membuatnya diterima bekerja di berbagai perusahaan listrik dan telekomunikasi di Eropa. Ia sempat bekerja di Paris sebelum akhirnya menyeberang ke Amerika Serikat pada tahun 1884. Ia tiba di New York dengan hanya empat sen di saku dan sebuah surat rekomendasi untuk Thomas Edison. Inilah awal dari pertemuan dua tokoh yang kelak dikenal dunia sebagai rival abadi.

Tesla bekerja di perusahaan Edison hanya dalam waktu singkat, namun hubungan keduanya penuh ketegangan. Edison percaya pada sistem listrik arus searah (DC), sedangkan Tesla memimpikan arus bolak-balik (AC) yang lebih efisien untuk mengalirkan listrik jarak jauh. Pertentangan itu menjadi “Perang Arus” yang melegenda. Edison menggunakan segala cara untuk menjatuhkan Tesla, bahkan menyetrum hewan di depan umum untuk menakut-nakuti orang terhadap bahaya listrik AC. Tetapi Tesla tetap berdiri teguh pada keyakinannya. Ia pernah berkata, “Masa kini adalah milik mereka, tetapi masa depan—yang telah saya perjuangkan—adalah milik saya.” Kalimat itu menjadi semacam sumpah yang menguatkan langkahnya.

Bersama pengusaha George Westinghouse, Tesla memenangkan pertarungan dengan membuktikan keunggulan AC dalam Pameran Dunia Chicago 1893 serta proyek pembangkit listrik tenaga air di Air Terjun Niagara. Dunia akhirnya memilih arus bolak-balik, dan Tesla untuk sementara waktu dielu-elukan sebagai pahlawan sains.

Namun Tesla tidak hanya berhenti pada arus listrik. Ia memiliki ratusan paten dan ide yang seolah tak ada habisnya. Ia menciptakan motor induksi yang menjadi dasar mesin listrik modern, merancang transformator Tesla Coil yang masih digunakan dalam riset tegangan tinggi, dan mendemonstrasikan perahu mini yang dikendalikan tanpa kabel pada tahun 1898, teknologi yang kala itu dianggap mustahil. Ia bereksperimen dengan gelombang mikro, sinar-X, bahkan memimpikan sistem komunikasi nirkabel global jauh sebelum teknologi itu benar-benar ada. Ia percaya, “Jika kau ingin menemukan rahasia alam semesta, berpikirlah dalam hal energi, frekuensi, dan getaran.”

Sayangnya, ide-ide brilian itu tidak selalu berbuah manis. Tesla hampir tidak pernah mendapatkan keuntungan finansial yang sepadan. Obsesi terbesarnya adalah membangun menara raksasa bernama Wardenclyffe Tower di Long Island. Melalui menara itu, Tesla berharap dapat mengirimkan listrik tanpa kabel ke seluruh penjuru dunia. Ia percaya energi adalah hak setiap manusia, bukan komoditas untuk diperdagangkan. Ia pernah berkata, “Tujuan utama saya adalah memberi cahaya ke seluruh bumi. Ada cukup energi di ruang angkasa. Ini hanya soal menguasainya.” Namun idealismenya justru membuat para investor mundur. Mereka menyadari bahwa jika Tesla berhasil, mereka tidak akan bisa menjual listrik. Proyek itu terbengkalai, menara dibongkar, dan Tesla pun jatuh dalam keterpurukan.

Hari-hari tuanya semakin berat. Tesla hidup dalam kesendirian dan kemiskinan, berpindah dari satu hotel ke hotel lain di New York, seringkali tidak mampu membayar biaya kamar. Ia semakin tenggelam dalam eksentrisitas. Ia memiliki obsesi pada angka tiga, menolak menyentuh rambut manusia, dan mengaku menjalin ikatan emosional mendalam dengan burung merpati yang setiap hari ia beri makan. Dalam kesepian itu ia berkata, “Saya tidak berpikir ada kegembiraan yang bisa dibandingkan dengan penemuan baru. Kehidupan seorang penemu adalah kehidupan kesepian.”

Pada 7 Januari 1943, Nikola Tesla ditemukan meninggal sendirian di kamar 3327 New Yorker Hotel. Ia wafat tanpa keluarga, tanpa harta, bahkan tanpa penghargaan yang layak. Ironisnya, segera setelah kematiannya, pemerintah Amerika Serikat menyita seluruh catatan dan dokumennya karena khawatir mengandung rahasia teknologi berbahaya. Dunia seakan baru menyadari terlalu terlambat bahwa jenius itu telah pergi meninggalkan warisan besar.

Setelah kematiannya, nama Tesla sempat tenggelam di bawah bayang-bayang Edison dan penemu lainnya. Namun waktu akhirnya mengembalikan kejayaannya. Kini satuan medan magnet dalam fisika diberi nama Tesla, sebuah penghormatan ilmiah yang abadi. Perusahaan mobil listrik terkemuka juga mengabadikan namanya, menjadikannya simbol revolusi energi bersih. Ia muncul dalam film, novel, komik, hingga teori konspirasi yang membuat sosoknya kian legendaris.

Nikola Tesla adalah paradoks yang hidup. Ia ingin memberi cahaya bagi umat manusia, namun berakhir dalam kegelapan. Ia visioner yang melihat masa depan, tetapi tidak mampu mengamankan tempatnya di masa kini. Ia seorang penemu yang terlalu cepat untuk zamannya, sehingga banyak dari idenya baru dihargai berpuluh-puluh tahun setelah kematiannya. Ia pernah berkata dengan getir, “Dunia bukan siapakah yang pertama, tetapi siapakah yang berhasil. Saya bukan pengusaha, saya penemu.”

Kini, ketika kita menyalakan lampu, menghidupkan motor listrik, atau menikmati teknologi nirkabel, sesungguhnya kita masih hidup dalam dunia yang dibentuk oleh Tesla. Mungkin benar kata ibunya di malam badai itu: Tesla adalah anak cahaya. Ia bukan hanya milik abad ke-19 atau ke-20, melainkan milik masa depan. Dan meski tubuhnya telah lama tiada, kilatan ide-idenya masih terus menyinari jalan manusia menuju peradaban yang lebih terang.